Senin, 26 Maret 2012

Pengertian Legenda

Legenda adalah cerita prosa rakyat yang mirip dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi tetapi tidak dianggap suci dan oleh yang empu- nya cerita sebagai suatu yang benar-benar terjadi dan juga telah dibumbui dengan keajaiban, kesaktian, dan keistimewaan tokohnya. Berbeda dengan mite, legenda ditokohi oleh manusia, ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan sering kali juga dihubungkan dengan makhluk ajaib. Peristiwanya bersifat sekuler (keduniawian), dan sering dipandang sebagai sejarah kolektif. Oleh karena itu,  legenda seringkali dipandang sebagai ”sejarah” kolektif (folkstory).  Walaupun demikian, karena tidak tertulis maka kisah tersebut  telah mengalami distorsi sehingga seringkali jauh berbeda dengan  kisah aslinya. Oleh karena itu, jika legenda hendak dipergunakan  sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah maka legenda harus  bersih dari unsur-unsur yang mengandung sifat-sifat folklor.

Jenis-Jenis Legenda 
Legenda dapat dibagi ke dalam empat jenis, yaitu legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat.

1. Legenda Keagamaan
Legenda yang ceritanya berkaitan dengan kehidupan keagamaan disebut dengan legenda keagamaan. Legenda ini misalnya legenda tentang orang- orang tertentu. Kelompok tertentu misalnya cerita tentang para penyebar Islam di Jawa. Kelompok orang-orang ini di Jawa dikenal dengan sebutan walisongo. Mereka adalah manusia biasa, tokoh yang memang benar-benar ada, akan tetapi dalam uraian ceritanya ditampilkan sebagai figur-figur yang memiliki kesaktian. Kesaktian yang mereka miliki digambarkan di luar batas-batas manusia biasa.Sebutan wali songo ada yang menafsirkan bukan berarti sembilan dalam arti jumlah, tetapi angka sembilan itu sebagai angka sakral. Penafsiran ini didasarkan pada kenyataan adanya para tokoh penyebar Islam yang lainnya. Mereka berada di tempat-tempat tertentu. Masyarakat setempat biasanya memandang tokoh tersebut kedudukannya sama atau sederajat dengan tokoh wali yang sembilan orang. Tokoh-tokoh tersebut seperti Syekh Abdul Muhyi,  Syekh Siti Jenar, Sunan Geseng, Ki Pandan Arang, Pangeran Panggung, dan lain-lain.

2. Legenda Alam Gaib
Bentuk kedua yaitu legenda alam gaib. Legenda ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhyul” atau kepercayaan rakyat. Jadi, legenda alam gaib adalah cerita-cerita pengalaman seorang dengan makhluk-makhluk gaib, hantu-hantu, siluman, gejala-gejala alam gaib, dan sebagainya.
Contoh legenda alam gaib misalnya, di Bogor Jawa Barat ada legenda tentang mandor Kebun Raya Bogor yang hilang lenyap begitu saja sewaktu bertugas di Kebun Raya.Menurut kepercayaan penduduk setempat, hal itu disebabkan ia telah melangkahi setumpuk batu bata yang merupakan bekas-bekas pintu gerbang Kerajaan Pajajaran. Pintu gerbang itu, menurut kepercayaan penduduk setempat, terletak di salah satu tempat di kebun raya. Tepatnya tidak ada yang mengetahui. Oleh karenanya, penduduk disana menasihati para pengunjung Kebun Raya, agar jangan melangkahi tempat antara tumpukan-tumpukan batu bata tua, karena ada kemungkinan bahwa di sanalah bekas pintu gerbang kerajaan zaman dahulu itu. Jika kita melanggarnya, maka kita akan masuk ke daerah gaib dan tidak dapat pulang lagi ke dunia nyata.
Contoh lainnya yaitu kepercayan terhadap  adanya hantu, gendruwo, sundel bolong serta nyi blorong.

3. Legenda Perorangan
Legenda perseorangan merupakan cerita mengenai tokoh-tokoh  tertentu yang dianggap benar-benar terjadi. Di Indonesia legenda  semacam ini banyak sekali.misalnya Sabai nan Aluih dan Si Pahit Lidah dari Sumatra, Si Pitung dan Nyai Dasima dari Jakarta, Lutung Kasarung dari Jawa Barat, Rara Mendut dan Jaka Tingkir dari Jawa Tengah, Suramenggolo dari Jawa Timur, serta Jayaprana dan Layonsari dari Bali.

4. Legenda lokal/Setempat
Legenda lokal adalah legenda yang berhubungan dengan nama tempat terjadinya gunung, bukit, danau, dan sebagainya. Misalnya, legenda terjadinya Danau Toba di Sumatra, Sangkuriang (legenda Gunung Tangkuban Parahu) di Jawa Barat, Rara Jonggrang di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Ajisaka di Jawa Tengah, dan Desa Trunyan di Bali.

Sumber : http://www.sentra-edukasi.com/2011/06/pengertian-ciri-ciri-dan-jenis-jenis.html

Nama : Wiriyani Arfiyanti
NPM : 17111448
Kelas : 1KA30

Contoh Mitos

Beru Ginting Sope Mbelin 

Di daerah Urung Galuh Simale ada sepasang suami istri, yaitu Ginting Mergana dan Beru Sembiring. Mereka hidup bertani dan dalam kesusahan. Anak mereka hanya seorang, anak wanita, yang bernama Beru Ginting Sope Mbelin.

Untuk memperbaiki kehidupan keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu “judi rampah” dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya ini memang berhasil.

Keberhasilan Ginting Mergana ini menimbulkan cemburu adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya ini justru meracuni Ginting Mergana sehingga sakit keras. Akhirnya meninggal dunia. Melaratlah hidup Beru Ginting Sope Mbelin bersama Beru Sembiring.

Empat hari setelah kematian Ginting Mergana, menyusul pula beru Sembiring meninggal. Maka jadilah Beru Ginting sope Mbelin benar-benar anak yatim piatu, tiada berayah tiada beribu.

Beru Ginting Sope Mbelin pun tinggal dan hidup bersama pakcik dan makciknya. Anak ini diperlakukan dengan sangat kejam, selalu dicaci-maki walaupun sebenarnya pekerjaannya semua berres. Pakciknya berupaya memperoleh semua harta pusaka ayah Beru Ginting Sope Mbelin, tetapi ternyata tidak berhasil. Segala siasat dan tipu muslihat pakciknya bersama konco-konconya dapat ditangkis oleh Beru Ginting Sope Mbelin.

Ada-ada saja upaya dibuat oleh makcik dan pakciknya untuk mencari kesalahan Beru Ginting Sope Mbelin, bisalnya menumbuk padi yang berbakul-bakul, mengambil kayu api berikat-ikat dengan parang yang majal, dll. Walau Beru Ginting Sope Mbelin dapat mengerjakannya dengan baik dan cepat – karena selalu dibantu oleh temannya Beru Sembiring Pandan toh dia tetap saja kena marah dan caci-maki oleh makcik dan pakciknya.

Untuk mengambil hati makcik dan pakciknya, maka Beru Ginting Sope Mbelin membentuk “aron” atau “kerabat kerja tani gotong royong” yang beranggotakan empat orang, yaitu Beru Ginting Sope Mbelin, Beru Sembiring Pandan, Tarigan Mergana dan Karo Mergana.

Niat jahat makcik dan pakciknya tidak padam-padamnya. Pakciknya menyuruh pamannya untuk menjual Beru Ginting Sope Mbelin ke tempat lain di luar tanah Urung Galuh Simale. Pamannya membawanya berjalan jauh untuk dijual kepada orang yang mau membelinya.

Di tengah jalan Beru Ginting Sope Mbelin bertemu dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini memberi kain kepada Beru Ginting Sope Mbelin sebagai tanda mata dan berdoa agar selamat di perjalanan dan dapat bertemu lagi kelak.

Kemudian sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di Tanah Alas di kampung Kejurun Batu Mbulan dan diterima serta diperlakukan dengan baik oleh Tengku Kejurun Batu Mbulan secara adat.

Selanjutnya sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di tepi pantai. Di pelabuhan itu sedang berlabuh sebuah kapal dari negeri jauh. Nakhoda kapal itu sudah setuju membeli Beru Ginting Sope Mbelin dengan harga 250 uang logam perak. Beru Ginting Sope Mbelin disuruh naik ke kapal untuk dibawa berlayar. Mesin kapal dihidupkan tetapi tidak jalan. Berulang kali begitu. Kalau Beru Ginting Sope Mbelin turun dari kapal, kapal itu dapat berjalan, tetapi kalau dia naik, kapal tidak dapat berjalan. Nakhoda akhirnya tidak jadi membeli Beru Ginting Sope Mbelin dan uang yang 250 perak itu pun tidak dimintanya kembali.

Perjalanan pun dilanjutkan. Ditengah jalan, paman Beru Ginting Sope Mbelin pun melarikan diri pulang kembali ke kampung. Dia mengatakan bahwa Beru Ginting Sope Mbelin telah dijual dengan harga 250 perak serta menyerahkan uang itu kepada pakciknya Beru Ginting. Pakciknya percaya bahwa Beru Ginting telah terjual.

Beru Ginting Sope Mbelin meneruskan perjalanan seorang diri tidak tahu arah tujuan entah ke mana, naik gunung turun lembah. Pada suatu ketika dia bertemu dengan seekor induk harimau yang sedang mengajar anaknya. Anehnya harimau tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin, bahkan menolongnya menunjukkan jalan yang harus ditempuh.

Beru Ginting Sope Mbelin dalam petualangannya sampai pada sebuah gua yang dalam. Penghuni gua – yang bernama Nenek Uban – pun keluar menjumpainya. Nenek Uban ini pun tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin bahkan membantunya pula. Nenek tua ini mengetahui riwayat hidup keluarga dan pribadi Beru Ginting Sope Mbelin ini.

Atas petunjuk Nenek Uban ini maka secara agak gaib Beru Ginting Sope Mbelin pun sampailah di tempat nenek Datuk Rubia Gande, yaitu seorang dukun besar atau “guru mbelin”. Sesampainya di sana, keluarlah nenek Datuk Rubia Gande serta berkata: “Mari cucu, mari, jangan menangis, jangan takut” dan Beru Ginting Sope Mbelin pun menceritakan segala riwayat hidupnya.

Beru Ginting Sope Mbelin pun menjadi anak asuh nenek Datuk Rubia Gande. Beru Ginting pun sudah remaja dan rupa pun sungguh cantik pula. Konon kabarnya sudah ada jejaka yang ingin mempersuntingnya. Tetapi Beru Ginting Sope Mbelin tidak berani mengeluarkan isi hatinya karena yang memeliharanya adalah nenek Datuk Rubia Gande. Oleh karena itu kepada setiap jejaka yang datang dia berkata : “tanya saja pada nenek saya itu”. Dan neneknya pun berkata kepada setiap orang: “tanya saja pada cucu saya itu!”. Karena jawaban yang seperti itu jadinya orang bingung dan tak mau lagi datang melamar.

Ternyata antara Beru Ginting Sope Mbelin dan nenek Datuk Gande terdapar rasa saling menghargai. Inilah sebabnya masing-masing memberi jawaban pada orang yang datang “tanya saja pada dia!” Akhirnya terdapat kata sepakat, bahwa Beru Ginting mau dikawinkan asal dengan pemuda/pria yang sependeritaan dengan dia. Neneknya pun setuju dengan hal itu.

Akhirnya, nenek Datuk Rubia Gande pun dapat memenuhi permintaan cucunya, dengan mempertemukan Beru Ginting Sope Mbelin dengan Karo Mergana penghulu Kacaribu, berkat bantuan burung Danggur Dawa-Dawa. Dan kedua insan ini pun dikawinkanlah oleh nenek Datuk Rubia Gande menjadi suami-istri.

Setelah beberapa hari, bermohonlah Karo Mergana kepada nenek Datuk Rubia Gande agar mereka diizinkan pulang ke tanah kelahiran Beru Ginting Sope Mbelin, karena begitulah keinginan cucunya Beru Ginting itu. Nenek Datuk Rubia Gande menyetujui usul itu serta merestui keberangkatan mereka.

Berangkatlah Beru Ginting Sope Mbelin dengan suaminya Karo Mergana memulai perjalanan. Mereka berjalan beberapa lama mengikuti rute perjalanan Beru Ginting Sope Mbelin dulu waktu meninggalkan tanah urung Galuh Simale. Mereka singgah di kampung Kejurun Batu Mbulan, di pelabuhan di tepi pantai tempat berlabuh kapal nakhoda dulu, melalui simpang Perbesi dan Kuala bahkan berhenti sejenak di situ.

Sampailah mereka di antara Perbesi dan Kuala. Anehnya, di sana mereka pun berjumpa pula dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini sangat bergembira karena dulu mereka pernah memberi kain masing-masing sehelai kepada Beru Ginting Sope Mbelin yang sangat menderita berhati sedih pada waktu itu, dan kini mereka dapat pula bertemu dengan Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana.

Jadinya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana, bermalam pula beberapa lama di Kuala dan Perbesi atas undangan kedua sibayak tersebut. Dan disediakan pula pengiring yang mengantarkan Beru Ginting Sope Mbelin bersama Karo Mergana ke tanah Urung Galuh Simale. Semuanya telah diatur dengan baik: perangkat gendang yang lengkap, makanan yang cukup bahkan banyak sekali. Pendeknya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya diantar dengan upacara yang meriah atas anjuran dan prakarsa Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi yang bijaksana dan baik hati.

Ternyata pakcik Beru Ginting Sope Mbelin dulu – yang juga seorang dukun – mempunyai firasat yang kurang baik terhdapa dirinya. Oleh karena itu pada saat tibanya Beru Ginting Sope Mbelin di kampungnya, pakciknya itu sekeluarga menyembunyikan diri di atas para-para rumah. Akan tetapi akhrinya diketahui juga oleh Beru Ginting Sope Mbelin.

Pakcik dan makcik Beru Ginting Sope Mbelin dibawa turun ke halaman untuk dijamu makan dan diberi pakaian baru oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makciknya itu sangat malu dan tidak mengira bahwa Beru Ginting Sope Mbelin akan pulang kembali ke kampung apalagi bersama suaminya pula yaitu Karo Mergana. 

Sumber : http://karodalnet.blogspot.com/2011/04/contoh-cerita-mitos.html

Nama : Wiriyani Arfiyanti
NPM : 17111448
Kelas : 1KA30 

Pengertian Mitos

Mitos atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi  oleh para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia  lain (kahyangan) pada masa lampau dan dianggap benar-benar  terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Mitos juga disebut Mitologi, yang kadang diartikan Mitologi adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan bertalian dengan terjadinya tempat, alam semesta, para dewa, adat istiadat, dan konsep dongeng suci. Jadi, mitos adalah cerita tentang asal-usul alam semesta, manusia, atau bangsa yang diungkapkan dengan cara-cara gaib dan mengandung arti yang dalam. Mitos juga mengisahkan  petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, kisah perang mereka dan sebagainya.

Sumber : http://www.sentra-edukasi.com/2011/06/pengertian-dan-contoh-contoh-mitos-di.html

Nama : Wiriyani Arfiyanti
NPM : 17111448
Kelas : 1KA30

Selasa, 06 Maret 2012

Macam-Macam Kebudayaan Indonesia


Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945.

Kebudayaan nasional
Kebudayaan nasional secara mudah dimengerti sebagai kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:
Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya


Disebutkan juga pada pasal selanjutnya bahwa kebudayaan nasional juga mencermikan nilai-nilai luhur bangsa. Tampaklah bahwa batasan kebudayaan nasional yang dirumuskan oleh pemerintah berorientasi pada pembangunan nasional yang dilandasi oleh semangat Pancasila.
Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.[2]
Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang.
Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan angsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan menglami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional. [3]
Kebudayaan daerah
Seluruh kebudayaan daerah yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral daripada kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.
Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk lokal menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.
Kebudayaan Arab masuk bersama dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Nusantara dalam perjalanan mereka menuju Tiongkok.
Kedatangan penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16 ke Nusantara, dan penjajahan yang berlangsung selanjutnya, membawa berbagai bentuk kebudayaan Barat dan membentuk kebudayaan Indonesia modern sebagaimana yang dapat dijumpai sekarang. Teknologi, sistem organisasi dan politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya seperti boga, busana, perekonomian, dan sebagainya, banyak mengadopsi kebudayaan Barat yang lambat-laun terintegrasi dalam masyarakat.
Wujud kebudayaan daerah di Indonesia
Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Setiap saerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda.

Rumah adat
Rumah gadang, rumah adat sumatera barat
• Aceh
• Sumatera Barat : Rumah Gadang
• Sumatera Selatan : Rumah Limas
• Jawa : Joglo
• Papua : Honai
• Sulawesi Selatan : Tongkonang (Tana Toraja), Bola Soba (Bugis Bone), Balla Lompoa (Makassar Gowa)
• Sulawesi Tenggara: Istana buton
• Sulawesi Utara: Rumah Panggung
• Kalimantan Barat: Rumah Betang
• Nusa Tenggara Timur: Lopo
Tarian
• Jawa: Bedaya, Kuda Lumping, Reog.
• Bali: Kecak, Barong/ Barongan, Pendet.
• Maluku: Cakalele, Orlapei, Katreji
• Aceh: Saman, Seudati.
• Minangkabau: Tari Piring, Tari Payung, Tari Indang, Tari Randai, Tari Lilin
• Betawi: Yapong
• Sunda: Jaipong, Reog, Tari Topeng
• Timor NTT: Likurai, Bidu, Tebe, Bonet, Pado'a, Rokatenda, Caci
• Batak Toba & Suku Simalungun: Tortor
• Sulawesi Selatan: Tari Pakkarena, Tarian Anging Mamiri, Tari Padduppa, Tari 4 Etnis
• Pesisir Sibolga/Tapteng: Tari Sapu Tangan , Tari Adok , Tari Anak , Tari Pahlawan , Tari Lagu Duo , Tari Perak , Tari Payung .
• Riau : ( Persembahan, Zapin, Rentak bulian, Serampang dua Belas )
• lampung : ( bedana, sembah, tayuhan, sigegh, labu kayu )
• irian jaya:

Lagu
• Jakarta: Kicir-kicir, Jali-jali, Lenggang Kangkung.
• Maluku : Rasa Sayang-sayange, Ayo Mama
• Melayu : Soleram, Tanjung Katung
• Minangkabau : Kampuang nan Jauh di Mato, Kambanglah Bungo, Indang Sungai Garinggiang
• Aceh : Bungong Jeumpa
• Ampar-Ampar Pisang (Kalimantan Selatan)
• Anak Kambing Saya (Nusa Tenggara Timur)
• Oras Loro Malirin, Sonbilo, Tebe Onana, Ofalangga, Do Hawu, Bolelebo, Lewo Ro Piring Sina, Bengu Re Le Kaju, Aku Retang, Gaila Ruma Radha Nusa Tenggara Timur
• Angin Mamiri (Sulawesi Selatan)
• Anju Ahu (Sumatera Utara)
• Apuse (Papua)
• Ayam Den Lapeh (Sumatera Barat)
• Barek Solok (Sumatera Barat)
• Batanghari (Jambi)
• Bubuy Bulan (Jawa Barat)
• Buka Pintu (Maluku)
• Bungo Bangso (Sumatera Utara)
• Bungong Jeumpa (Aceh)
• Burung Tantina (Maluku)
• Butet (Sumatera Utara)
• Cik-Cik Periuk (Kalimantan Barat)
• Cikala Le Pongpong (Sumatera Utara)
• Cing Cangkeling (Jawa Barat)
• Cuk Mak Ilang (Sumatera Selatan)
• Dago Inang Sarge (Sumatera Utara)
• Dayung Palinggam (Sumatera Barat)
• Dayung Sampan (Banten)
• Dek Sangke (Sumatera Selatan)
• Desaku (Nusa Tenggara Timur)
• Esa Mokan (Sulawesi Utara)
• Es Lilin (Jawa Barat)
• Gambang Suling (Jawa Tengah)
• Gek Kepriye (Jawa Tengah)
• Goro-Gorone (Maluku)
• Gending Sriwijaya (Sumatera Selatan)
• Gundul Pacul (Jawa Tengah)
• Helele U Ala De Teang (Nusa Tenggara Barat)
• Huhatee (Maluku)
• Ilir-Ilir (Jawa Tengah)
• Indung-Indung (Kalimantan Timur)
• Injit-Injit Semut (Jambi)
• Jali-Jali (Jakarta)
• Jamuran (Jawa Tengah)
• Kabile-Bile (Sumatera Selatan)
• Kalayar (Kalimantan Tengah)
• Kambanglah Bungo (Sumatera Barat)
• Kampuang Nan Jauh Di Mato (Sumatera Barat)
• Ka Parak Tingga (Sumatera Barat)
• Karatagan Pahlawan (Jawa Barat)
• Keraban Sape (Jawa Timur)
• Keroncong Kemayoran (Jakarta)
• Kicir-Kicir (Jakarta)
• Kole-Kole (Maluku)
• Lalan Belek (Bengkulu)
• Lembah Alas (Aceh)
• Lisoi (Sumatera Utara)
• Madekdek Magambiri (Sumatera Utara)
• Malam Baiko (Sumatera Barat)
• Mande-Mande (Maluku)
• Manuk Dadali (Jawa Barat)
• Ma Rencong (Sulawesi Selatan)
• Mejangeran (Bali)
• Mariam Tomong (Sumatera Utara)
• Moree (Nusa Tenggara Barat)
• Nasonang Dohita Nadua (Sumatera Utara)
• O Ina Ni Keke (Sulawesi Utara)
• Ole Sioh (Maluku)
• Orlen-Orlen (Nusa Tenggara Barat)
• O Ulate (Maluku)
• Pai Mura Rame (Nusa Tenggara Barat)
• Pakarena (Sulawesi Selatan)
• Panon Hideung (Jawa Barat)
• Paris Barantai (Kalimantan Selatan)
• Peia Tawa-Tawa (Sulawesi Tenggara)
• Peuyeum Bandung (Jawa Barat)
• Pileuleuyan (Jawa Barat)
• Pinang Muda (Jambi)
• Piso Surit (Aceh)
• Pitik Tukung (Yogyakarta)
• Flobamora, Potong Bebek Angsa (Nusa Tenggara Timur)
• Rambadia (Sumatera Utara)
• Rang Talu (Sumatera Barat)
• Rasa Sayang-Sayange (Maluku)
• Ratu Anom (Bali)
• Saputangan Bapuncu Ampat (Kalimantan Selatan)
• Sarinande (Maluku)
• Selendang Mayang (Jambi)
• Sengko-Sengko (Sumatera Utara)
• Siboga Tacinto (Sumatera Utara)
• Sinanggar Tulo (Sumatera Utara)
• Sing Sing So (Sumatera Utara)
• Sinom (Yogyakarta)
• Si Patokaan (Sulawesi Utara)
• Sitara Tillo (Sulawesi Utara)
• Soleram (Riau)
• Surilang (Jakarta)
• Suwe Ora Jamu (Yogyakarta)
• Tanduk Majeng (Jawa Timur)
• Tanase (Maluku)
• Tapian Nauli (Sumatera Utara)
• Tebe Onana (Nusa Tenggara Barat)
• Te Kate Dipanah (Yogyakarta)
• Tokecang (Jawa Barat)
• Tope Gugu (Sulawesi Tengah)
• Tumpi Wayu (Kalimantan Tengah)
• Tutu Koda (Nusa Tenggara Barat)
• Terang Bulan (Jakarta)
• Yamko Rambe Yamko (Papua)
• Bapak Pucung (Jawa Tengah)
• Stasiun Balapan, Didi Kempot (Jawa Tengah)
• bulu londong, malluya, io-io, ma'pararuk (Sulawesi Barat)
Musik
• Jakarta: Keroncong Tugu.
• Maluku :
• Melayu : Hadrah, Makyong, Ronggeng
• Minangkabau :
• Aceh :
• Makassar : Gandrang Bulo, Sinrilik
• Pesisir Sibolga/Tapteng : Sikambang
Alat musik



• Jawa: Gamelan.
• Nusa Tenggara Timur: Sasando, Gong dan Tambur, Juk Dawan, Gitar Lio.
• Gendang Bali
• Gendang Karo
• Gendang Melayu
• Gandang Tabuik
• Sasando
• Talempong
• Tifa
• Saluang
• Rebana
• Bende
• Kenong
• Keroncong
• Serunai
• Jidor
• Suling Lembang
• Suling Sunda
• Dermenan
• Saron
• Kecapi
• Bonang
• Kendang Jawa
• Angklung
• Calung
• Kulintang
• Gong Kemada
• Gong Lambus
• Rebab
• Tanggetong
• Gondang Batak
• Kecapi, kesok-Kesok Bugis-makassar, dan sebagainya
Gambar
• Jawa: Wayang.
• Tortor: Batak
Patung
• Jawa: Patung Buto, patung Budha.
• Bali: Garuda.
• Irian Jaya: Asmat.
Pakaian
• Jawa: Batik.
• Sumatra Utara: Ulos, Suri-suri, Gotong.
• Sumatra Utara, Sibolga: Anak Daro & Marapule.
• Sumatra Barat/ Melayu:
• sumatra selatanSongket
• Lampung : Tapis
• Sasiringan
• Tenun Ikat Nusa Tenggara Timur
• Bugis - MakassarBaju Bodo dan Jas Tutup, Baju La'bu
Suara
• Jawa: Sinden.
• Sumatra: Tukang cerita.
• Talibun : (Sibolga, Sumatera Utara)
Sastra/tulisan
• Jawa: Babad Tanah Jawa, karya-karya Ronggowarsito.
• Bali: karya tulis di atas Lontar.
• Sumatra bagian timur (Melayu): Hang Tuah
• Sulawesi Selatan Naskah Tua Lontara
• Timor Ai Babelen, Ai Kanoik

Sumber :
http://www.toyasandy.blogspot.com/2012/03/macam-macam-kebudayaan-indonesia.html

Opini : Di Indonesia, terdapat kebudayaan yang beragam. Kita sebagai Warga Negara Indonesia harus menjaga dan melestarikan setiap kebudayaan yang terdapat di negara kita.

Nama : Wiriyani Arfiyanti
Kelas : 1KA30
NPM : 17111448